Sunday, April 21, 2019

Teori tentang Perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


1.      Pengertian Perjanjian
Perjanjian diatur dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313 yang oleh Soebekti diterjemahkan menjadi “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”[1] J. Satrio menegaskan dengan merujuk ke pasal sebelumnya yaitu Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa perjanjian dan perikatan bukanlah hal yang sama, menurutnya perikatan bersumber dari perjanjian atau undang-undang.[2] Lebih lanjut Ridwan Khairandy memaparkan mengenai perikatan sebagai hubungan hukum yang bersifat resiprositas antara dua orang atau lebih yang mana terdapat satu pihak memiliki hak untuk menuntut atas suatu hal sedangkan pihak lainya berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut dan diketahui tuntutan tersebut merupakan bidang harta kekayaan.[3] Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jelas perjanjian merupakan sumber perikatan.
2.      Syarat Sah Perjanjian
Syarat Sah Perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang di dalamnya memuat empat syarat, yaitu[4]:
a.       Sepakat mereka yang mengikatakan dirinya
Para pihak yang dalam pembuatan perjanjian harus menjadikan kata sepakat dalam perjanjiannya. Hal ini disebabkan lahirnya perjanjian didahului kata sepakat atau kesamaan kehendak para pihak dalam perjanjian tersebut tanpa kat sepakat suatu perjanjian dianggap tidak pernah ada.[5]
b.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Berdasarkan Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diketahui bahwa pada hakekatnya setiap orang cakap untuk membuat perikatan jika tidak dilarang oleh undang-undang, sedangkan pasal selanjutnya yakni Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merinci siapa saja yang dinyatakan tidak cakap membuat perjanjian, yaitu: orang yang belum dewasa, dan orang yang berada dibawah pengampuan.[6]
c.       Suatu hal tertentu
Merujuk pada Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dimaksud dengan tertentu yakni suatu barang yang dapat ditentukan.
d.      Suatu sebab yang halal
Berdasarkan Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebab yang halal memiliki arti suatu perjanjian yang dibuat dengan alasan yang terlarang atau palsu tidak berkekuatan hukum. Lebih lanjut dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dirinci melanggar sebab yang halal apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.[7]
3.      Unsur-Unsur Perjanjian
Herlien Budiono menjelaskan perjanjian teridiri dari tiga unsur yaitu unsur essentialia, unsur naturalia, dan unsur accidentalia. Unsur essensialia, diambil dari kata essensi yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti inti atau hal yang pokok, memuat bagian yang menjadi pokok dalam suatu perjanjian. Kemudian unsur naturalia yang tanpa perlu disebutkan oleh para pihak dalam perjanjian namun tetap dianggap ada, sifatnya tidak memaksa sehingga dapat disimpangi oleh para pihak. Unsur naturalia dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan sehingga sekalipun para pihak tidak menyebutkannya dalam perjanjian maka dianggap para pihak mengikuti ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terakhir unsur accidentalia yang memuat ketentuan yang diperjanjikan secara khusus oleh para pihak.[8] Komariah menjelaskan unsur accidentalia sebgai bagian dari perjanjian yang ada jika para pihak menghendakinya.[9]
4.      Asas-Asas Perjanjian
Asas-Asas Perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata termaktub dalam Pasal 1338, yakni:
a.       Asas pacta sunt servanda
Asas ini memiliki arti bahwa setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak mengikat selayaknya perjanjian itu sebagai undang-undang bagi para pihak di dalam perjanjian tersebut.[10]
b.      Asas Konsensualisme
Asas ini memiliki arti bahwa setiap perjanjian lahir dari kata sepakat yang disampaikan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut.
c.       Asas Iktikad Baik
Ridwan Khairandy membagi itikad baik dalam perjanjian menjadi dua kategori, yakni itikad baik pra kontrak dan pasca kontrak. Menurutnya itikad baik pra kontrak memiliki makna kejujuran dalam proses negosiasi sebelum dibuatnya kontrak. Sedangkan itikad baik pasca kontrak memiliki makna konten dari perjanjian yang dibuat harus patut dan sesuai rasio manusia.[11]
d.      Asas Kebebasan Berkontrak
Perjanjian merupakan bagian dari buku ketiga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menganut sistem terbuka. Implikasi dari sistem tersebut menyebabkan perjanjian juga menganut sistem yang sama. Hal tersebut membuat setiap orang dapat menciptakan bentuk-bentuk perjanjian baru yang bahkan belum ditentukan bentuknya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sutan Remy Sjahdeini memaparkan lingkup kebebasan berkontrak sebagai: kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk menentukan para pihak dalam perjanjian, kebebasan untuk menentukan kausa perjanjian, kebebasan menentukan objek perjanjian, kebebasan bentuk perjanjian yang diinginkan, dan kebebasan menyimpangi atau tidak ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat pilihan.[12]
5.      Subjek Dan Objek Perjanjian
Subjek dalam perjanjian atau disebut juga dengan pihak yang oleh Ridwan Khairandy dikategorikan menjadi dua, yakni: debitor dan kreditor. Debitor merupakan pihak yang wajib melakukan prestasi atau mudahnya disebut sebagai pihak yang memiliki hutang. Sedangkan kreditor merupakan pihak yang memiliki hak untuk menuntut suatu prestasi atau lebih mudah disebut pihak yang memiliki piutang.
Objek dalam perjanjian yaitu prestasi, Ridwan Khairandy memaparkan prestasi merupakan kewajiban yang harus ditunaikan. Ia mengkategorikan prestasi menjadi tiga kategori, yakni: memberi sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.[13] Suatu prestasi memiliki beberapa syarat, antara lain: tertentu, tidak bertentangan dengan aturan hukum, dan dapat dilaksanakan.
6.      Cacat Kehendak
Cacat kehendak merupakan bentuk tidak sempurna dari kesepakatan dalam perjanjian. Terjadinya cacat kehendak dalam suatu perjanjian bukan berarti tidak ada kesepakatan dalam perjanjian tersebut melainkan ada kesepakatan namun kata sepakat tersebut tidak didasarkan pada kehendak bebas salah satu atau kedua belah pihak dalam perjanjian.[14] Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan cacat kehendak meliputi: kesesatan, paksaan, dan penipuan.
Herlien Budiono menjelaskan kesesatan atau kekeliruan merupakan hal yang sangat wajar namun dalam hukum tidak semua kesesatan dapat dimaklumi.[15] Ridwan Khairandy dalam bukunya, Hukum Kontrak Indonesia dalam Prespektif Perbandingan, memaparkan kesesatan dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yakni[16]:
a.       Kesesatan dalam motif
J. Satrio memaparkan yang dimaksud motif adalah faktor yang pertama atau sebab paling jauh yang menimbulkan kehendak. Hakekatnya hukum tidak mempedulikan motif seseorang. Apakah tindakan hukum yang dilakukan seseorang tersebut bermotif komersial atau atas dasar kasih sayang, tidak relevan bagi hukum.[17]
b.      Kesesatan semu
      Kesesatan semu menurut J. Satrio terjadi manakala kehendak dan pernyataan kehendaknya tidak sesuai. Beberapa contoh kesesatan semu antara lain: orang yang menandatangani perjanjian dibawah paksaan, pernyataan orang tidak waras, orang mabuk yang membuat perjanjian, atau orang yang membuat perjanjian dibawah hipnotis. Kasus-kasus tersebut tidak melahirkan perjanjian sebab dianggap tidak berkehendak bebas dan tidak mengetahui akibat dari perbuatannya. Pada kesesatan semu sebenarnya perjanjian tidak terjadi sebab kata sepakat tidak tercapai.[18]
c.       Kesesatan yang sebenarnya
Kesesatan yang sebenarnya menurut J. Satrio terjadi saat kehendak dan pernyataan kehendak sama namun kesepakatan tersebut dibentuk dari gambaran yang keliru. Memang muncul kesepakatan dalam perjanjian tersebut tetapi lahirnya kesepakatan tersebut karena ada suatu kesesatan oleh keadaan yang tidak betul.[19]



[1] Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan tambahan, Pradanya Paramita, Jakarta, 2004, hlm. 338.
[2] J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku 1, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 2.
[3] Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Prespektif Perbandingan, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm. 2.
[4] Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Op. Cit, hlm. 339.
[5] Ridwan Khairandy, Op. Cit, hlm. 90.
[6] Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Op. Cit, hlm. 341.
[7] Ibid, hlm. 342.
[8] Herlien Budiono, Op.Cit, hlm. 67.
[9] Komariah, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2002, hlm. 172.
[10] Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Op. Cit, hlm. 342.
[11] Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Prespektif Perbandingan, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm. 92.
[12] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 47.
[13] Ridwan Khairandy, Op. Cit, hlm. 41.
[14] Ibid, hlm. 217.
[15] Herlien Budiono, Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 99.
[16] Ridwan Khairandy, Op. Cit, hlm. 218.
[17] J. Satrio, Hukum Perikatan, Op. Cit, hlm. 270.
[18] Ibid, hlm. 270.
[19] Ibid, hlm. 272.

Perbuatan Melanggar Hukum (Onrechtmatigedaad )

Onrechtmatigedaad atau perbuatan melanggar hukum diatur dalam Pasal 1401 Burgerlijk Wetboek yang kemudian diterjemahkan oleh Soebekti ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365, menjadi “Tiap perbutan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”[1] Secara tatabahasa kata ‘perbuatan’ dalam rangkaian kata perbuatan melanggar hukum berarti perbuatan positif maupun perbuatan negatif. Maksudnya tidak hanya perbuatan dengan unsur bergerak melainkan juga diam tidak melakukan apapun tetapi ia sadar bahwa diamnya adalah pelanggaran hukum juga termasuk perbuatan menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kemudian kata melanggar dalam rangkaian kata perbuatan melanggar hukum bersifat aktif, diartikan dengan adanya perbuatan nyata[2]. 
Perbuatan melanggar hukum memiliki lima unsur yang oleh Fuady dipaparkan sebagai berikut[3], yaitu: 
1.      Ada perbuatan
Unsur ada perbuatan dalam hal ini dimaknai dengan perbuatan yang bersifat aktif maupun pasif. Aktif berarti berbuat sesuatu sedangkan pasif berarti tidak berbuat sesuatu, padahal diketahui ia memiliki kewajiban berbuat secara hukum.
2.      Perbuatan tersebut melanggar hukum
Unsur perbuatan tersebut melanggar hukum mencakup perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, perbuatan yang melanggar hak orang lain, perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban pelaku, perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan, atau perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat.
3.      Ada kesalahan dari pelaku
Perbuatan yang dikategorikan sebagai kesalahan menurut hukum harus memenuhi unsur-unsur kesalahan, yaitu: kesengajaan; kelalaian; dan tidak ada alasan pembenar atau pemaaf.
4.      Ada kerugian bagi korban
Lingkup kerugian dalam perbuatan melanggar hukum tidah hanya mencakup kerugian materiil tetapi juga kerugian immateriil yang akan dinilai dengan uang.
5.      Ada hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian
Terdapat dua teori terkait hubungan kausal, yaitu: teori hubungan faktual dan teroi penyebab kira-kira. Teori hubungan faktual menghendaki penyebab suatu kerugian adalah suatu fakta yang telah terjadi. Dalam hukum teori ini sering disebut juga sebagai sine qua non. Sedangkan teori penyebab kira-kira dalam hukum sering disebut sebagai legal cause.

Perbuatan melanggar hukum digolongkan menjadi tiga macam, yaitu[4]:
1.      Perbuatan melangar hukum dengan unsur kesengajaan
2.      Perbuatan melangar hukum tanpa unsur kesalahan
3.      Perbuatan melangar hukum dengan unsur kelalaian


[1] R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan tambahan, Pradanya Paramita, Jakarta, 2004, hlm. 346.
[2] Wirjono Prodjoikoro, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang dari Sudut Hukum Perdata, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 2.
[3] Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 10.
[4] Ibid. hlm. 3.