1. Pengertian
Perjanjian
Perjanjian diatur dalam Buku Ketiga Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313 yang oleh Soebekti diterjemahkan menjadi
“Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”[1]
J. Satrio menegaskan dengan merujuk ke pasal sebelumnya yaitu Pasal 1233 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata bahwa perjanjian dan perikatan bukanlah hal yang
sama, menurutnya perikatan bersumber dari perjanjian atau undang-undang.[2]
Lebih lanjut Ridwan Khairandy memaparkan mengenai perikatan sebagai hubungan
hukum yang bersifat resiprositas antara dua orang atau lebih yang mana terdapat
satu pihak memiliki hak untuk menuntut atas suatu hal sedangkan pihak lainya
berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut dan diketahui tuntutan tersebut
merupakan bidang harta kekayaan.[3]
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jelas perjanjian
merupakan sumber perikatan.
2. Syarat
Sah Perjanjian
Syarat
Sah Perjanjian diatur dalam
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang di dalamnya memuat empat
syarat, yaitu[4]:
a.
Sepakat
mereka yang mengikatakan dirinya
Para pihak yang dalam pembuatan perjanjian harus menjadikan kata sepakat
dalam perjanjiannya. Hal ini disebabkan lahirnya perjanjian didahului kata sepakat
atau kesamaan kehendak para pihak dalam perjanjian tersebut tanpa kat sepakat
suatu perjanjian dianggap tidak pernah ada.[5]
b.
Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan
Berdasarkan Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diketahui bahwa
pada hakekatnya setiap orang cakap untuk membuat perikatan jika tidak dilarang
oleh undang-undang, sedangkan pasal selanjutnya yakni Pasal 1330 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata merinci siapa saja yang dinyatakan tidak cakap
membuat perjanjian, yaitu: orang yang belum dewasa, dan orang yang berada
dibawah pengampuan.[6]
c.
Suatu
hal tertentu
Merujuk pada Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dimaksud
dengan tertentu yakni suatu barang yang dapat ditentukan.
d.
Suatu
sebab yang halal
Berdasarkan Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebab yang
halal memiliki arti suatu perjanjian yang dibuat dengan alasan yang terlarang
atau palsu tidak berkekuatan hukum. Lebih lanjut dalam Pasal 1337 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dirinci melanggar sebab yang halal apabila
berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.[7]
3. Unsur-Unsur
Perjanjian
Herlien Budiono menjelaskan perjanjian teridiri dari tiga unsur yaitu
unsur essentialia, unsur naturalia, dan unsur accidentalia. Unsur essensialia,
diambil dari kata essensi yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
inti atau hal yang pokok, memuat bagian yang menjadi pokok dalam suatu
perjanjian. Kemudian unsur naturalia yang tanpa perlu disebutkan oleh para
pihak dalam perjanjian namun tetap dianggap ada, sifatnya tidak memaksa
sehingga dapat disimpangi oleh para pihak. Unsur naturalia dapat ditemukan
dalam peraturan perundang-undangan sehingga sekalipun para pihak tidak
menyebutkannya dalam perjanjian maka dianggap para pihak mengikuti ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terakhir unsur accidentalia
yang memuat ketentuan yang diperjanjikan secara khusus oleh para pihak.[8]
Komariah menjelaskan unsur accidentalia sebgai bagian dari perjanjian yang ada
jika para pihak menghendakinya.[9]
4. Asas-Asas
Perjanjian
Asas-Asas
Perjanjian dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata termaktub dalam Pasal 1338, yakni:
a.
Asas
pacta sunt servanda
Asas ini memiliki arti bahwa setiap perjanjian yang dibuat oleh para
pihak mengikat selayaknya perjanjian itu sebagai undang-undang bagi para pihak
di dalam perjanjian tersebut.[10]
b.
Asas
Konsensualisme
Asas ini memiliki arti bahwa setiap perjanjian lahir dari kata sepakat
yang disampaikan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut.
c.
Asas
Iktikad Baik
Ridwan Khairandy membagi itikad baik dalam perjanjian menjadi dua
kategori, yakni itikad baik pra kontrak dan pasca kontrak. Menurutnya itikad
baik pra kontrak memiliki makna kejujuran dalam proses negosiasi sebelum
dibuatnya kontrak. Sedangkan itikad baik pasca kontrak memiliki makna konten
dari perjanjian yang dibuat harus patut dan sesuai rasio manusia.[11]
d.
Asas
Kebebasan Berkontrak
Perjanjian merupakan bagian dari buku ketiga dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang menganut sistem terbuka. Implikasi dari sistem tersebut
menyebabkan perjanjian juga menganut sistem yang sama. Hal tersebut membuat
setiap orang dapat menciptakan bentuk-bentuk perjanjian baru yang bahkan belum
ditentukan bentuknya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sutan Remy
Sjahdeini memaparkan lingkup kebebasan berkontrak sebagai: kebebasan untuk
membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk menentukan para pihak
dalam perjanjian, kebebasan untuk menentukan kausa perjanjian, kebebasan
menentukan objek perjanjian, kebebasan bentuk perjanjian yang diinginkan, dan
kebebasan menyimpangi atau tidak ketentuan peraturan perundang-undangan yang
bersifat pilihan.[12]
5. Subjek
Dan Objek Perjanjian
Subjek dalam perjanjian atau disebut juga dengan pihak
yang oleh Ridwan Khairandy dikategorikan menjadi dua, yakni: debitor dan
kreditor. Debitor merupakan pihak yang wajib melakukan prestasi atau mudahnya
disebut sebagai pihak yang memiliki hutang. Sedangkan kreditor merupakan pihak
yang memiliki hak untuk menuntut suatu prestasi atau lebih mudah disebut pihak
yang memiliki piutang.
Objek dalam perjanjian yaitu prestasi, Ridwan
Khairandy memaparkan prestasi merupakan kewajiban yang harus ditunaikan. Ia
mengkategorikan prestasi menjadi tiga kategori, yakni: memberi sesuatu, berbuat
sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.[13]
Suatu prestasi memiliki beberapa syarat, antara lain: tertentu, tidak
bertentangan dengan aturan hukum, dan dapat dilaksanakan.
6. Cacat Kehendak
Cacat kehendak merupakan bentuk tidak sempurna dari
kesepakatan dalam perjanjian. Terjadinya cacat kehendak dalam suatu perjanjian
bukan berarti tidak ada kesepakatan dalam perjanjian tersebut melainkan ada
kesepakatan namun kata sepakat tersebut tidak didasarkan pada kehendak bebas
salah satu atau kedua belah pihak dalam perjanjian.[14]
Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan cacat kehendak
meliputi: kesesatan, paksaan, dan penipuan.
Herlien Budiono menjelaskan kesesatan atau kekeliruan
merupakan hal yang sangat wajar namun dalam hukum tidak semua kesesatan dapat
dimaklumi.[15]
Ridwan Khairandy dalam bukunya, Hukum Kontrak Indonesia dalam Prespektif
Perbandingan, memaparkan kesesatan dapat dikategorikan menjadi tiga kategori,
yakni[16]:
a.
Kesesatan
dalam motif
J. Satrio memaparkan yang dimaksud motif adalah faktor
yang pertama atau sebab paling jauh yang menimbulkan kehendak. Hakekatnya hukum
tidak mempedulikan motif seseorang. Apakah tindakan hukum yang dilakukan
seseorang tersebut bermotif komersial atau atas dasar kasih sayang, tidak
relevan bagi hukum.[17]
b.
Kesesatan
semu
Kesesatan semu menurut J. Satrio
terjadi manakala kehendak dan pernyataan kehendaknya tidak sesuai. Beberapa
contoh kesesatan semu antara lain: orang yang menandatangani perjanjian dibawah
paksaan, pernyataan orang tidak waras, orang mabuk yang membuat perjanjian,
atau orang yang membuat perjanjian dibawah hipnotis. Kasus-kasus tersebut tidak
melahirkan perjanjian sebab dianggap tidak berkehendak bebas dan tidak
mengetahui akibat dari perbuatannya. Pada kesesatan semu sebenarnya perjanjian
tidak terjadi sebab kata sepakat tidak tercapai.[18]
c.
Kesesatan
yang sebenarnya
Kesesatan yang sebenarnya menurut J. Satrio terjadi
saat kehendak dan pernyataan kehendak sama namun kesepakatan tersebut dibentuk
dari gambaran yang keliru. Memang muncul kesepakatan dalam perjanjian tersebut
tetapi lahirnya kesepakatan tersebut karena ada suatu kesesatan oleh keadaan
yang tidak betul.[19]
[1] Soebekti
dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dengan tambahan, Pradanya Paramita, Jakarta, 2004, hlm. 338.
[2] J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian Buku 1, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 2.
[3] Ridwan
Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam
Prespektif Perbandingan, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm. 2.
[11] Ridwan
Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam
Prespektif Perbandingan, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm. 92.
[12] Sutan Remy
Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan
Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia,
Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 47.
[15] Herlien
Budiono, Hukum Perjanjian dan
Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm.
99.